Kamis, 31 Desember 2015

SEJARAH RUMPUN BAHASA AUSTRONESIA

     
     Menurut Arkeolog Harry Truman Simanjuntak, Austronesia merupakan salah satu rumpun bahasa yang terbesar di dunia. Rumpun bahasa ini meliputi 1.252 bahasa dan dituturkan oleh lebih dari 300 juta jiwa penutur asli. Masyarakat penuturnya tersebar di wilayah sepanjang 15 ribu km (lebih dari separuh bola bumi), dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di ujung timur, dari Taiwan-Mikronesia di utara hingga Selandia Baru di selatan. Dari sisi jumlah bahasanya, rumpun Austronesia menduduki urutan ke-2 sebagai rumpun bahasa terbesar di dunia. Sedangkan dari jumlah penutur aslinya, rumpun ini menduduki urutan ke-5.

     Mengenai asal usul penutur rumpun bahasa Austronesia ini, terdapat beberapa hipotesis yang menyatakan bahwa leluhur penutur bahasa Austronesia berasal dari Pulau Formosa, Taiwan. Salah satu pakar linguistik yang lantang menyuarakan hipotesis ini adalah Robert Blust. Menurutnya, sembilan dari sepuluh cabang utama rumpun bahasa Austronesia terbentuk dari bahasa-bahasa Formosa, sedangkan satu cabang utama lainnya terdiri dari hampir 1.200 bahasa Melayu-Polinesia yang tersebar di luar Formosa. Robert Blust sudah mencoba merekonstruksi silsilah dan pengelompokan bahasa-bahasa dari rumpun Austronesia sejak 1970-an. Meski pakar bahasa sepakat dengan beberapa rincian analisis Robert Blust, tetap disepakati kesimpulan umum bahwa bahasa-bahasa Austronesia berasal dari Taiwan. Teori ini dikenal sebagai teori Model Out of Taiwan.

     Menurut teori Model Out of Taiwan, leluhur bangsa Austronesia berasal dari Cina Selatan yang bermigrasi ke Taiwan pada masa 5000-4000 SM. Beberapa abad setelahnya, muncul akar rumpun bahasa Austronesia. Sekitar 4500-3000 SM, ada satu kelompok leluhur yang memisahkan diri dan bermigrasi ke Filipina bagian utara. Mereka kemudian melahirkan cabang bahasa yakni Proto Melayu Polinesia (PMP). Selanjutnya, sebagian masyarakat penutur PMP mulai bermigrasi dari Filipina ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara, melalui Filipina Selatan. Melalui proses migrasi ini, lahirlah cabang bahasa baru, yaitu bahasa Proto Melayu Polinesia Tengah-Timur (PCEMP) yang berpusat di Maluku Utara dan bahasa Proto Melayu Polinesia Barat (PWMP) di kepulauan Indonesia bagian barat.

      Leluhur yang ada di Maluku Utara kemudian berpindah ke selatan dan timur pada 3000-2000 SM. Perpindahan ke selatan hingga ke Nusa Tenggara menghasilkan cabang bahasa Proto Melayu Polinesia Tengah (PCMP). Sementara perpindahan masyarakat penutur ke timur hingga pantai utara Papua Barat menghasilkan bahasa Proto Melayu Polinesia Timur (PEMP). Perpindahan penutur PEMP di wilayah pantai barat Papua Barat ke Halmahera Selatan, Kepulauan Raja Ampat, dan pantai barat Papua Barat menghasilkan bahasa Halmahera Selatan Papua Nugini Barat (SHWNG). Kelompok dari masyarakat penutur PEMP lainnya lalu berpindah ke Oseania, dan sampai ke Kepulauan Bismarck di Melanesia sekitar 1500 SM. Dari proses migrasi ini muncul bahasa Proto Oseania.

     Sementara itu, penutur PWMP di Kepulauan Indonesia bagian barat yang menghuni Kalimantan dan Sulawesi kemudian bergerak menuju selatan pada 3000-2000 SM. Kelompok ini kemudian berdiam di Jawa dan Sumatra. Sebagian di antaranya lalu berpindah lagi ke utara, termasuk Vietnam dan Semenanjung Malaka. Memasuki awal periode Masehi, persebaran leluhur penutur bahasa PWMP bergerak ke Kalimantan hingga Madagaskar.

     Harry Truman Simanjuntak menyimpulkan bahwa hampir seluruh kawasan Nusantara, hingga ke negeri-negeri tetangga dan masyarakat kepulauan di Pasifik dan Madagaskar menggunakan bahasa yang cikal bakalnya adalah bahasa Austronesia. Kecuali masyarakat pedalaman Papua dan pedalaman Pulau Timor, bahasanya lebih mirip dengan bahasa pedalaman Australia. Bahasa nasional Indonesia pun berakar dari bahasa Austronesia. Namun memang bahasa Indonesia saat ini sudah jauh lebih kompleks karena penuturnya sudah beradaptasi dengan rumpun bahasa dunia lainnya seperti India, Arab, Portugis, Belanda dan Inggris.

Source: Turangan, Lyli, Willyanto, dan Reza Fadhilla. 2014. Seni Budaya dan Warisan Indonesia Jilid 8 Bahasa dan Sastra. Jakarta: PT Aku Bisa.

1 komentar: