LET'S VISIT BANDA ACEH

Banda Aceh is the provincial capital of Aceh Province, formerly known as Kutaraja until 1962. On April 22nd, 2016, Banda Aceh celebrated its 814th anniversary. Today,...

DAYA TARIK WISATA JAWA TENGAH

Candi Borobudur merupakan candi Budha terbesar di dunia. Candi ini adalah salah satu masterpiece di antara tujuh keajaiban dunia. Candi Borobudur terletak di...

NGABEN: UPACARA ADAT PEMAKAMAN DI BALI

Upacara pemakaman jenazah atau kremasi umat Hindu di Bali atau dikenal dengan nama Ngaben merupakan suatu ritual yang dilaksanakan...

SEJARAH RUMPUN BAHASA AUSTRONESIA

Menurut Arkeolog Harry Truman Simanjuntak, Austronesia merupakan salah satu rumpun bahasa yang terbesar di dunia. Rumpun bahasa ini meliputi...

ALBERT EINSTEIN

Albert Einstein was born in Ulm, Germany, in 1879. As a young boy, Einstein lived in...

Tampilkan postingan dengan label Fiqh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqh. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Februari 2016

Mempelajari Istihsan

    Secara bahasa istihsan berarti menganggap baik. Sedangkan menurut istilah ahli ushul fiqih yang dimaksud dengan istihsan yaitu berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas   jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat istisna'iy (pengecualian) karena ada dalil syara' yang menghendaki perpindahan itu.

    Dari pengertian tersebut sudah jelas bahwa istihsan berfungsi untuk:

  1. Menguatkan qiyas khafy dan qiyas jaly dengan dalil. Misalnya menurut ulama Hanafiyah, wanita yang sedang haid boleh membaca Alquran berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas.

  2. Qiyas : Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan 'illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Alquran maka wanita yang sedang haid juga haram membaca Alquran.

    Istihsan: Haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama. Sehingga wanita yang sedang haid diperbolehkan membaca Alquran karena apabila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun. Sedangkan laki-laki dapat beribadah setiap saat.

  3. Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kully, syara' melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan adalah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.

  4. Kedudukan Istihsan sebagai Sumber Hukum Islam

    Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan.

  5. Jumhur ulama menolak berhujjah dengan istihsan karena berhujjah dengan istihsan berarti menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.

  6. Golongan Hanafiyah memperbolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka berhujjah dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyas khafy yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau menguatkan satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang menghendaki penguatan itu. Atau berdalilkan maslahat untuk mengecualikan sebagian dari hukum kully. Dan Imam Malik beserta pengikutnya juga menggunakan istihsan namun di kalangan mereka populer dengan istilah mashalihul mursalah.

Macam dan Tingkatan Qiyas

    Qiyas memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya 'illat yang ada pada ashal dan furu', adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi menjadi tiga yaitu:

  1. Qiyas Aula

  2. Qiyas aula yaitu qiyas yang apabila 'illat-nya mewajibkan adanya hukum. Dan antara hukum ashal dan furu' (yang disamakan) serta hukum cabang mempunyai hukum yang lebih utama daripada hukum yang ada pada ashal. Misalnya berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan 'uh', 'eh', 'busyet' atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman Allah di dalam surat Al-Isra' ayat 23.

    فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ أُفٍّ

    Artinya: "Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah'."

    Lalu diqiyaskan memukul dengan perkataan 'ah', 'busyet' dan sebagainya hukumnya lebih utama. Rasionalnya berkata 'uh' saja dilarang, apalagi memukulnya.

  3. Qiyas Musawi

  4. Qiyas musawi yaitu qiyas yang apabila 'illatnya mewajibkan adanya hukum yang sama antara hukum yang ada pada ashal dan yang ada pada furu'. Contohnya keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 10.

    إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْولَ الْيَتمى ظُلْمًا إِنَّمَا يأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا

    Artinya:
    "Sebenarnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)."

    Dari ayat di atas kita dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah manajemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim.

  5. Qiyas Adna

  6. Qiyas dikategorikan sebagai qiyas adna apabila adanya hukum furu' lebih lemah bila dirujuk dengan hukum ashal. Sebagai contoh mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar-menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam kasus ini, 'illat hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa ditakara. Namun ada segi yang lain dari 'illat gandum yang tidak terdapat pada apel, apa itu? Apel bukan makanan pokok. Oleh karena itu, 'illat yang ada pada apel lebih lemah dibandingkan dengan 'illat yang ada pada gandum yang menjadi makanan pokok.

Belajar Qiyas

    Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukurkan sesuatu dengan yang lain. Para ahli Ushul Fiqih merumuskan qiyas dengan:

    اِلْحَاقُ وَاقِعَةٍ لَانَصَّ عَلَى حُكْمِهَابِوَاقِعَةٍ وَرَدُّنَصٍّ بِحُكْمِهَا فِى الْحُكْمِ الَّذِى وَرَدَ بِهِ النَّصُّ لِتَسَاوِى الْوَاقِعَتَيْنِ فَى عِلَّتِهِ هذَا الْحُكْمِ

    Artinya:
    "Menyamakan atau mengukur satu kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada nash tentang hukumnya di dalam hukum yang disebutkan di dalam nash karena ada kesamaan antara dua kejadian itu di dalam'illat hukum tersebut."

    Dari rumusan di atas dapat dijelaskan beberapa hal:

  1. Kejadian (وَاقِعَةٌ) adalah peristiwa, perbuatan, tindakan yang tidak ada hukumnya atau belum jelas hukumnya baik dalam Alquran mupun hadits. Dalam ilmu ushul fiqih hal ini disebut far'un (فَرْعٌ). Suatu peristiwa dapat disebut far'un  apabila: adanya kemudian, ada kesamaan 'illat dengan peristiwa yang akan disamainya. Kejadian yang telah ada ketentuan hukumnya baik dalam Alquran maupun hadits disebut ashal (اَصْلٌ) atau disebut juga maqii'alaih (مَقِيْسٌ عَلَيْهِ) yaitu sesuatu yang akan diqiyaskan kepadanya, atau musyabbah bih (مُشَبَّهٌ بِهِ) yaitu yang akan diserupakan dengannya.

  2. Suatu kejadian dapat disebut sebagai ashal (اَصْلٌ) apabila:
    1. Hukumnya adalah hkum syari'ah amali dan berdasar nash.
    2. 'Illat hukumnya dapat diketahui secara 'aqli.
    3. Hukumnya bukan merupakan cabang (far'un) dari ashal mansukh (مَنْسُوْخٌ).
    4. Nash hukum ashal tidak meliputi hukum far'un.
    5. Hukum ashal adalah hukum yang disepakati dan tidak mansukh.
    6. Hukum pada ashal tidak memiliki qiyas rangkap.

  3. 'Illat yaitu suatu sifat yang menjadi dasar hukum pada ashal. Sifat ini pula yang harus ada pada far'un. Haramnya minum khamr adalah ashal karena ada nash yng menyatakan itu, yaitu firman Allah SWT 'فَاجْتَنِبُوْهُ' (maka jauhilah) karena sifatnya yang memabukkan. Perasan anggur adalah far'un yang tidak disebutkan hukumnya tetapi sifatnya saja memabukkan. Karena sifatnya sama maka rasa anggur dan semua makanan dan minuman yang memiliki sifat memabukkan hukumnya disamakan dengan khamr yaitu haram.

  4. Hukum ashal yaitu hukum suatu kejadian yang sudah disebutkan dan akan ditetapkan bagi far'un karena sama sifatnya ('illatnya). Suatu sifat dapat dijadikan 'illat apabila jelas atau dzanni (dapat dibuktikan), dapat dibatasi secara pasti (مُنْضَبِطٌ) sama antara ashal dengan far'un serta munasabah (مُنَاسَبَةٌ) yaitu dugaan kuat bahwa sifat tersebut merupakan alasan hukum pada ashal, sehingga adanya menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya menyebabkan tidak adanya hukum.

  5. Ilustrasi qiyas
    Al-ashlu
    Al-far'u
    'Illat
    Hukum
    khamr
    narkoba
    memabukkan
    haram

Macam dan Tingkatan Ijma'

Ijma' Sharih

Sharih secara etimologi mempunyai arti jelas. Ijma' sharih dapat diartikan sebagai ijma' yang memaparkan pendapat banyak ulama secara jelas dan terbuka, baik dengan capan maupun perbuatan.

     Pada saat semua ulama memaparkan pendapatnya, ternyata mereka menghasilkan pendapat yang sama atas hukum suatu perkara. Jenis ijma' ini diakui sangat langka karena sangat sulit dicapai kesamaan pemaparan pendapat dari sekian banyak ulama yang berijma'. Oleh karena itu sebagian ulama berpendapat bahwa ijma' semacam ini hanya dapat terlaksana pada zaman sahabat ketika jumlah mujtahid masih sedikit dan tempat mereka berdekatan.

     Ijma' sharih ini menempati tingkatan ijma' tertinggi. Hukum yang ditetapkannya bersifat qath'i, sehingga umat wajib mengikutinya. Oleh karena itu seluruh ulama sepakat dan bersedia untuk menjadikan ijma' sharih sebagai dalil yang sah dan kuat dalam penetapan hukum syariat Islam.

Ijma' Sukuti

Sukuti secara bahasa berarti diam. Sebuah ijma' disebut sebagai ijma' sukuti apabila sebagian mujtahid memaparkan pendapat-pendapatnya secara terang dan jelas mengenai suatu hukum atau peristiwa melalui perkataan maupun perbuatan, sedangkan mujtahid yang lain tidak memberikan komentar apakah dia menerima atau menolak.


     Ijma' sukuti ini bersifat dzan dan tidak memikat. Sehingga tidak ada halangan bagi para mujtahid untuk memaparkan pendapat yang berbeda setelah ijma' itu diputuskan. Imam Syafi'I dan Imam Maliki berpendapat bahwa ijma' sukuti tidak dapat dijadikan dasar hukum. Namun Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat lain yaitu menjadikan ijma' sukuti sebagai dasar hukum. Mereka menerima ijma' sukuti sebagai hujjah karena menurutnya kedua Imam tersebut diamnya mujtahid dianggap sebagai tanda setuju.

Belajar Ijma'

    Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), kata ijma' merupakan masdar (kata benda verbal) dari kata اَجْمَعَ yang memiliki arti memutuskan dan menyepakati sesuatu. Dia juga bisa berarti kesepakatan bulat (konsensus).

    Menurut Abdul Wahab Khalaf, secara istilah ijma' adalah:

    هُوَاِتِّفَاقُ جَمِيْعِ الْمُجْتَهِدِيْنَ فِى عَصْرٍمِنَ الْعُصُوْرِبَعْدَ وَفَاةِ الرَّسُوْلِ عَلَى حُكْمٍ شَرْعِيٍّ فِى الْوَاقِعَةِ

    Artinya:
    "Ijma' adalah kesepakatan (konsensus) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasul atas hukum syara' untuk satu peristiwa (kejadian)."

    Dari rumusan di atas dapat diambil beberapa penjelasan sebagai berikut:

  1. Kesepakatan adalah kesamaan pendapat baik disampaikan secara tegas melalui lisan maupun tulisan atau dengan beramal sesuai dengan hukum yang disepakati itu. Kesepakatan seperti itu disebut ijma' yang sebenarnya (ijma' bayani atau ijma' qauli). Jika kesepakatan itu ditunjukkan dengan diam yaitu tidak memberikan tanggapan maka disebut dengan ijma' sukuti. Karena diam itu tidak memberikan tanggapan, maka hal ini dipandang sebagai sebuah persetujuan terhadap hukum yang sudah sampai kepadanya.

  2. Seluruh mujtahid berarti masing-masing mujtahid menyatakan kesepakatannya. Jika seorang saja tidak menyetujuinya maka tidak terjadi ijma'. Demikian pula jika pada suatu masa hanya ada pada seorang mujtahid saja, maka tidak ada ijma' sebab tidak terjadi kesepakatan.

  3. Pada zaman Rasulullah SAW tidak ada ijma' sebab setiap terjadi ketiadaan hukum, para sahabat bertanya kepada Rasululallah, lalu beliau menetapkan hukumnya.

  4. Atas hukum syara', ijma' hanya terjadi bagi masalah yang berhubungan dengan hukum syara' dan berdasar kepada hukum syara' pula; baik berupa nash yang qath'I yaitu Alquran maupun hadits mutawatir, sebab ijma' bukanlah dalil syar'I yang berdiri sendiri (Depag, 2002:275).

  5. Dasar Kehujjahan dan Kedudukan Ijma' sebagai Sumber Hukum Islam

    Meskipun terjadi perbedaan, mayoritas ulama telah sepakat menempatkan ijma' sebagai sumber hukum Islam yang ke tiga setelah Alquran dan hadits. Apabila sudah terjadi ijma' maka hukum tersebut menjadi dasar beramal yang tidak boleh diingkari.

    مَارَئَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًافَهُوَعِنْدَاللهِ حَسَنٍ

    Artinya:
    "Apa-apa yang menurut pendapat kaum muslimin baik, maka baik (pula) di sisi Allah." (HR. Ahmad dalam Kitab Sunnah-Nya)

    لَاتَجْتَمِعُ اُمَّتِى عَلَى الضَّلَالَةِ

    Artinya: "Umatku tidak bersepakat atas kesesatan." (HR. Ibnu Majah)


Sabtu, 06 Februari 2016

Jual Beli

    Jual beli (الْبَيْع) menurut bahasa berarti memberikan sesuatu dengan imbalan sesuatu atau menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

    Jual beli menurut syara' ialah menukarkan suatu harta benda degan alat pembelian yang sah atau dengan harta benda yang lain dan keduanya menerima untuk dibelanjakan dengan ijab dan qabul menurut cara yang diatur oleh syara'.

    Jual beli adalah sebuah kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan manusia untuk mempertahankan kehidupan mereka di tengah-tengah masyarakat.

    Allah SWT berfirman:

    وَاَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَو

    Artinya:
    "Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Al-Baqarah: 275)

    Hukum jual beli pada dasarnya ialah halal atau boleh, artinya setiap orang Islam dalam mencari nafkahnya boleh dengan cara jual beli. Hukum jual beli dapat menjadi wajib apabila dalam mempertahankan hidup ini hanya satu-satunya yang mungkin untuk dilaksanakn oleh seseorang. Rasulullah Saw. bersabda:

    عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيًّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ: اَىُّ كَسْبٍ اَطْيَبُ؟ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ (رواه البزاروصححه الحاكم)

    Artinya:
    "Dari Rifa'ah bin Rafi' r.a., sesungguhnya Nabi Saw. ditanya: mata pencaharian apakah yang paling baik? Beliau menjawab, pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan tiap-tiap jual beli yang bersih." (HR. Bazzar dan disahkan oleh Hakim)

    Allah juga berfirman di dalam surat An-Nisa' ayat 29 yang artinya:
    "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu."

    Ayat tersebut memberikan pelajaran kepada kita bahwa untuk memperoleh rizki tidak boleh dengan cara yang bathil yaitu yang bertentangan dengan hukum Islam dan dalam jual beli harus didasari saling rela, tidak boleh menipu, tidak boleh berbohong dan tidak boleh merugikan kepentingan umum.

    Rukun jual beli

    Terdapat lima rukun jual beli, yaitu:
  1. Penjual
  2. Pembeli
  3. Barang yang diperjualbelikan
  4. Alat untuk menukar dalam kegiatan jual beli (harga)
  5. Aqad (ijab dan qabul antara penjual dan pembeli)

Hibah dan Hadiah

    Hibah

    Hibah (الْهِيْبَهْ) menurut bahasa berarti pemberian.

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hibah berarti pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.

    Menurut istilah hibah diartikan sebagai sebuah pemberian dari seseorang kepada orang lain dengan tidak ada imbalannya, tidak ada sebab yang menjadikan adanya pemberian itu yang dapat dilaksanakan sewaktu seseorang masih hidup ataupun setelah meninggal dunia (hibah wasiat).

    Hukum hibah adalah mubah (boleh), sebagaimana sabda Rasulullah:

    عَنْ خَالِدِبْنِ عَدِيٍّ اَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ جَاءَهُ مِنْ اَخِيْهِ مَعْرُوْفٌ مِنْ غَيْرِاِسْرَافٍ وَلَامَسْأَلَةٍ فَلْيَقْبِلْهُ وَلَايَرُدُّهُ فَاِنَّمَاهُوَرِزْقٌ سَاقَهُ اللّهُ اِلَيْهِ (رواه احمد)

    Artinya:
    "Dari Khalid bin 'Adi sesungguhnya Nabi Saw. telah bersabda: Siapa yang diberi kebaikan oleh saudaranya dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak karena diminta maka hendaklah diterima jangan ditolak. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah merupakan rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya." (HR. Ahmad)

    Ketentuan Hibah

    Hibah dapat dianggap sah apabila pemberian itu sudah mengalami proses serah terima. Jika hibah itu baru diucapkan dan belum terjadi serah terima maka yang demikian itu belum termasuk hibah.

    Jika barang yang dihibahkan itu telah diterima maka yang menghibahkan tidak boleh meminta kembali kecuali yang memberi itu adalah orang tuanya sendiri kepada anaknya.

    Hadiah

    Berbeda dengan hibah, hadiah (الْهَدِيَّة) merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dalam rangka untuk memberikan kehormatan. Rasulullah Saw. menganjurkan kepada ummatnya agar saling memberikan hadiah karena yang demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antar sesama.

    Hukum hadiah adalah sunnat. Nabi Saw. bersabda:

    عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَوْدُعِيْتُ اِلَى كُرَاعٍ اَوْذِرَاعٍ لَاَجَبْتُ وَلَوْاُهْدِيَ اِلَيَّ ذِرَاعٌ اَوْكُرَاعٌ لَقَبِلْتُ (رواه البخارى)

    Artinya:
    "Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. beliau bersabda: Andaikan saya diundang untuk makan sepotong kaki atau lengan binatang pasti akan saya kabulkan undangan itu dan begitu juga apabila sepotong kaki atau lengan binatang itu dihadiahkan kepada saya itu akan saya terima." (HR. Bukhari)

    Dalam hadis lain juga dinyatakan:

    كَانَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيْبُ عَلَيْهَا (رواه البزار)

    Artinya:
    "Rasulullah Saw. menerima hadiah dan beliau selalu membalasnya." (HR. Bazzar)

    Rukun hadiah

    Rukun hadiah dan rukun hibah sebenarnya sama dengan rukuan shadaqah, yaitu:
  1. Orang yang memberi; syaratnya orang yang memiliki benda itu dan berhak men-tasharruf-kannya.
  2. Orang yang diberi; syaratnya orang yang berhak memiliki.
  3. Ijab dan qabul.
  4. Barang yang diberikan; syaratnya barang yang dapat dijual.

WAKAF

    Wakaf (الْوَقْفُ) menurut bahasa mempunyai arti (الْحَبْسُ) menahan atau tahanan.

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wakaf diartikan sebagai benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum (Islam) sebagai pemberian yang ikhlas.

    Sedangkan menurut syara' wakaf ialah menahan harta benda tertentu yang dapat diambil manfaatnya sedangkan bendanya masih tetap, dan benda itu diserahkan kepada badan/orang lain dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah dan benda tersebut tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan.

    Hukum waqaf adalah sunnat. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Hajj ayat 77.

    يَآَيُّهَاالَّذِيْنَ امَنُوْاارْكَعُوْاوَاسْجُدُوْاوَاعْبُدُوْارَبَّكُمْ وَافْعَلُواالْخَيْرَلَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

    Artinya:
    "Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan." (Al-Hajj: 77)

    Allah SWT juga befirman di dalam surat Ali Imran ayat 92 yang artinya:
    "Kamu sekali-kali belum sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui."

    Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. bersabda:

    اِنَّ عُمَرَاَصَابَ اَرْضًابِخَيْبَرَفَقَالَ يَارَسُوْلَ اللَّهِ مَا تَأْمُرُنِيْ فِيْهَا؟ فَقَالَ: اِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ اَصْلَهَاوَتَصَدَّقْتَ بِهَافَتَصَدَّقَ بِهَاعُمَرُعَلَى اَنْ لَايُبَاعَ اَصْلُهَاوَلَايُوْهَبَ وَلَايُوْرَثَ (متفق عليه)

    Artinya:
    "Sesungguhnya Umar telah mendapatkan bagian tanah di Khaibar kemudian bertanya kepada Nabi: Wahai Rasulullah, apakah yang engkau perintahkan kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Nabi menjawab: Jika engkau menyukai tahanlah tanah itu dengan engkau sedekahkan manfaatnya. Maka Umar menyedekahkan manfaatnya dengan perjanjian ia tidak akan menjual tanah tersebut, tidak akan menghibahkan dan tidak akan mewariskannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

    Rukun Waqaf

    Rukun waqaf dan syaratnya masing-masing sebagaimana berikut.
  1. Waqif (orang yang berwakaf); syaratnya ialah orang yang berhak men-tasharruf-kan benda itu walaupun bukan orang Islam dan dengan kehendak sendiri.
  2. Mauquf (harta yang diwakafkan); syaratnya kekal zatnya dan kepunyaan orang yang mewakafkan.
  3. Orang yang menerima wakaf; syaratnya orang yang berhak memiliki sesuatu. Dengan demikian tidak sah berwakaf kepada anak yang masih di dalam kandungan ibunya atau kepada hamba sahaya. Wakaf kepada umum seperti untuk masjid, sekolah, jalan dan sebagainya justru lebih diutamakan.
  4. Shighat (pernyataan orang yang berwakaf). Jika wakaf itu kepada orang tertentu perlu ada qabul, tetapi jika wakaf itu kepada umum tidak disyaratkan ada qabul.

  5. Wakaf haruslah selama-lamanya, sehingga tidak sah wakaf untuk masa tertentu seperti dalam masa dua tahun. Wakaf juga harus secara tunai, maka tidak sah wakaf dengan syarat-syarat tertentu seperti seseorang mewakafkan sesuatu jika anaknya datang dari luar negeri. Tetapi wakaf tetap sah jika dihubungkan dengan kematian. Misalnya seseorang akan mewakafkan sawahnya untuk masjid jika nanti sesudah meninggal. Yang demikian itu menjadi wasiat. Wakaf juga harus jelas kepada siapa harta itu diwakafkan.

Senin, 01 Februari 2016

Shadaqah



    Shadaqah yang sering disebut dengan sedekah ialah pemberian sesuatu dari seseorang kepada orang lain dengan benar-benar mengharapkan keridhaan Allah.

    Hukum shadaqah ialah sunnat; hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT:

    وتَصَدَّقْ عَلَيْنَا اِنَّ اللَّهَ يَجْزِى الْمُتَصَدِّقِيْنَ
    Artinya:
    "Dan bersedakahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah." (Yusuf: 88)

    Allah juga berfirman di dalam surat Al-Baqarah ayat 272.

    وَمَا تُنْفِقُوْنَ اِلَّاابْتِغَآءَوَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوْامِنْ خَيْرٍيُّوَفَّ اِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَاتُظْلَمُوْنَ
    Artinya:
    "Dan kamu tidak menafkahkan, melainkan karena mencari keridhaan Allah dan sesuatu yang kamu belanjakan, kelak akan disempurnakan balasannya sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya." (Al-Baqarah: 272)

    Dalam suatu hadis, Rasulullah bersabda:

    جَاءَرَجُلٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللَّهِ اَيُّ الصَّدَقَةِ اَعْظَمُ اَجْرًا؟ قَالَ: اَنْ تَصَدَّقَ وَاَنْتَ صَحِيْحٌ شَحِيْحٌ تَخْشَى الْفُقَرَآءَوَتَأْمُلُ الْغِنَى,وَلَا تُهْمِلُ حَتَّى اِذَابَلَغَتِ الْحُلْقُوْمَ قُلْتُ لِفُلَانٍ كَذَاوَقَدْكَانَ لِفُلَانٍ كَذَا (متفق عليه)

    Artinya:
    "Seseorang telah datang kepada Nabi Saw. lalu ia bertanya: Wahai Rasulullah, shadaqah yang bagaimanakah yang lebih besar pahalanya? Rasulullah Saw. bersabda: shadaqah dalam keadaan sehat dengan harta yang sangat disayangi serta takut miskin dan ingin kaya. Dan jangan menunda-nunda bershadaqah sehingga ruhnya telah sampai tenggorokan (sekarat) lalu berwasiat untuk Fulan sekian untuk Fulan yang lain sekian. Padahal waktu itu kekayaannya telah menjadi milik ahli waris." (HR. Bukhari dan Muslim)

    Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 177 yang artinya:
    "Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta."

    Rukun Shadaqah
    Rukun shadaqah dan syaratnya masing-masing sebagai berikut.
  1. Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan berhak untuk men-tasharruf-kan (memperedarkannya).
  2. Orang yang diberi, syaratnya berhak memiliki. Dengan demikian tidak sah memberi kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya atau memberi kepada binatang karena keduanya tidak berhak memiliki sesuatu.
  3. Ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pemberian dari orang yang memberi, sedangkan qabul ialah pernyataan penerimaan dari orang yang menerima pemberian.
  4. Barang yang diberikan, syaratnya barang yang dapat dijual.