Kamis, 11 Februari 2016

R.M.P. Sosrokartono (Mandor Klungsu)

Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1925, beliau ditawari berbagai jabatan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini sebenarnya bertujuan untuk menjauhkan R.M.P. Sosrokartono dari kegiatan-kegiatan politik yang sedang marak saat itu. Beliau ditawari untuk menjadi Bupati, Adviseur Voor Inlandse Zaken dan Direktur di Museum Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen di Jakarta. Namun tawaran-tawaran tersebut beliau tolak, dan lebih memilih untuk menjadi Kepala Sekolah di Perguruan Taman Siswa, Nationale Middlebare School yang baru didirikan di Bandung.

     Guru-guru di sekolah Taman Siswa antara lain: Ir. Soekarno, Dr. Samsi, Mr. Sunario dan Mr. Usman Sastroamidjoyo. R.M.P. Sosrokartono juga aktif falam kegiatan politik pada zaman pergerakan nasional di Indonesia. Kegiatan beliau dapat dilihat dari laporan pejabat kolonial Belanda. Dalam laporan rahasia tahun 1962 yang dibuat Van Der Plas -pejabat Adviseur Voor Inlandse Zaken- tertulis bahwa R.M.P. Sosrokartono termasuk pelopor gerakan nasional Indonesia dan tidak dapat dipercaya oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Laporan Komisi Istimewa yang terdiri dari Herwerden dan Toxopeus, yang dilaporkan langsung kepada Ratu Wilhelmina, berisikan bahwa Sosrokartono penganjur swadesi dan sangat berbahaya bagi berlangsungnya ketentraman dan kedamaian Hindia Belanda.

     Tahun 1927, R.M.P. Sosrokartono terpaksa keluar dari Perguruan Taman Siswa karena sudah tak tahan lagi atas tekanan Pemerintah Kolonial Belanda. Beliau kemudian sering melakukan tarak brata, tidak mau menikmati kemewahan dunia, bahkan dalam beberapa hari, beliau pernah hanya makan dua buah cabai atau sebuah pisang. Selanjutnya, beliau suka berpuasa tanpa berbuka dan sahur, dan tidak tidur berhari-hari, bahkan hingga 40 hari lebih.

     Pada 30 April 1930, beliau harus mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk mengabdikan diri kepada rakyat Indonesia. Beliau menjadi penolong sesama manusia yang menderita sakit jasmani maupun rohani. Beliau mulai mengadakan penyembuhan spiritual dengan air putih yang dilakukan di tempat tinggalnya di Jalan Pungkur Bandung (sekarang, Jl. Dewi Sartika), yang kemudian disebut Dar-Oes-Salam (tempat nan damai). Orang Jawa yang berobat kepadanya menyebut beliau "Ndoro Sosro", orang Sunda menyebutnya "Dokter Cai", "Juragan Dokter Cai Pangeran" atau "Dokter Alif". Sementara orang Belanda dan Indo-Belanda menyebutnya "Oom Sas" dan di kalangan kedokteran beliau disebut "Wonder Dokter".

     Di Dar-Oes-Salam beliau mulai mengabdikan dirinya untuk kepentingan umat. Beliau gemar bertirakat, lebih-lebih ketika beliau hendak menolong seseorang, maka beliau terlebih dahulu melakukan tirakat sesuai hajat yang diperlukan. Beliau terkenal sebagai seorang paranormal cendekiawan di mana saja. Bahkan, beliau pernah mendapat undangan Sultan Sumatera, Langkat. Di daerah sanalah beliau mulai menampakkan kepribadiannya secara pasti, meskipun berada di sebuah kerajaan beliau masih menunjukkan tradisi Jawanya, kerendah-hatiannya, kesederhanaannya, tak mau menikmati kemewahan. Saat itulah beliau seakan menjadi sang zahid, sang sufi dan manusia yang ahli tirakat.

     Sampai menjelang akhir hayatnya, beliau tetap senang bertirakat, menolong sesama, bahkan beliau telah menyerahkan hidup dan matinya hanya untuk Allah, untuk kepentingan umat karena Allah. Beliau menjuluki dirinya dengan sebutan "Mandor Klungsu" dan "Jaka Pring". Beliau tidak menikah, tidak punya murid dan wakil. Sang Alif itulah sebuah tanda yang beliau semat dalam dada dan beliau refleksikan ke dunia eksternal sebagai perantara untuk menolong sesama. Beliau adalah seorang bangsawan, seorang sarjana, seorang pahlawan tanpa tanda jasa, seorang filsuf, sorang yang kaya meski tak berharta, seorang paranormal yang cendekia, mandor klungsu, Jaka Pring, ber-kanthong bolong dan gurune pribadi-muride pribadi. Oleh karena itu, Drs. R.M.P. Sosrokartono dapat dibanggakan sebagai Putra Indonesia Sejati.

     Drs. R.M.P. Sosrokartono wafat pada hari Jumat Pahing tanggal 8 Februari 1952 di rumahnya, Jl. Pungkur No. 19 Bandung. Beliau kembali ke rahmatillah pada usia 75 tahun. Saait itu, Presiden Soekarno memerintahkan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) untuk mengantarkan jenazah R.M.P. Sosrokartono dengan pesawat terbang militer ke kota Semarang. Jenazah beliau kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga Sedhomukti di kota Kudus.


Sumber: Syuropati, Muhammad A. 2011. Sugih Tanpa Bandha vs Ilmu Kanthong Bolong. Bantul: IN AzNa Books.

0 komentar:

Posting Komentar