Setelah
kembali ke Indonesia pada tahun 1925, beliau ditawari berbagai jabatan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini sebenarnya bertujuan untuk menjauhkan
R.M.P. Sosrokartono dari kegiatan-kegiatan politik yang sedang marak saat itu.
Beliau ditawari untuk menjadi Bupati, Adviseur
Voor Inlandse Zaken dan Direktur di Museum
Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen di Jakarta. Namun
tawaran-tawaran tersebut beliau tolak, dan lebih memilih untuk menjadi Kepala
Sekolah di Perguruan Taman Siswa, Nationale
Middlebare School yang baru didirikan di Bandung.
Guru-guru di sekolah Taman Siswa antara
lain: Ir. Soekarno, Dr. Samsi, Mr. Sunario dan Mr. Usman Sastroamidjoyo. R.M.P.
Sosrokartono juga aktif falam kegiatan politik pada zaman pergerakan nasional
di Indonesia. Kegiatan beliau dapat dilihat dari laporan pejabat kolonial
Belanda. Dalam laporan rahasia tahun 1962 yang dibuat Van Der Plas -pejabat Adviseur Voor Inlandse Zaken- tertulis bahwa
R.M.P. Sosrokartono termasuk pelopor gerakan nasional Indonesia dan tidak dapat
dipercaya oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Laporan Komisi Istimewa yang
terdiri dari Herwerden dan Toxopeus, yang dilaporkan langsung kepada Ratu
Wilhelmina, berisikan bahwa Sosrokartono penganjur swadesi dan sangat berbahaya
bagi berlangsungnya ketentraman dan kedamaian Hindia Belanda.
Tahun 1927, R.M.P. Sosrokartono terpaksa
keluar dari Perguruan Taman Siswa karena sudah tak tahan lagi atas tekanan
Pemerintah Kolonial Belanda. Beliau kemudian sering melakukan tarak brata, tidak mau menikmati kemewahan
dunia, bahkan dalam beberapa hari, beliau pernah hanya makan dua buah cabai
atau sebuah pisang. Selanjutnya, beliau suka berpuasa tanpa berbuka dan sahur,
dan tidak tidur berhari-hari, bahkan hingga 40 hari lebih.
Pada 30 April 1930, beliau harus
mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk mengabdikan diri kepada rakyat
Indonesia. Beliau menjadi penolong sesama manusia yang menderita sakit jasmani
maupun rohani. Beliau mulai mengadakan penyembuhan spiritual dengan air putih
yang dilakukan di tempat tinggalnya di Jalan Pungkur Bandung (sekarang, Jl.
Dewi Sartika), yang kemudian disebut Dar-Oes-Salam
(tempat nan damai). Orang Jawa yang berobat kepadanya menyebut beliau
"Ndoro Sosro", orang Sunda menyebutnya "Dokter Cai",
"Juragan Dokter Cai Pangeran" atau "Dokter Alif". Sementara
orang Belanda dan Indo-Belanda menyebutnya "Oom Sas" dan di kalangan
kedokteran beliau disebut "Wonder
Dokter".
Di Dar-Oes-Salam
beliau mulai mengabdikan dirinya untuk kepentingan umat. Beliau gemar
bertirakat, lebih-lebih ketika beliau hendak menolong seseorang, maka beliau
terlebih dahulu melakukan tirakat sesuai hajat yang diperlukan. Beliau terkenal
sebagai seorang paranormal cendekiawan di mana saja. Bahkan, beliau pernah
mendapat undangan Sultan Sumatera, Langkat. Di daerah sanalah beliau mulai
menampakkan kepribadiannya secara pasti, meskipun berada di sebuah kerajaan
beliau masih menunjukkan tradisi Jawanya, kerendah-hatiannya, kesederhanaannya,
tak mau menikmati kemewahan. Saat itulah beliau seakan menjadi sang zahid, sang sufi dan manusia yang ahli
tirakat.
Sampai menjelang akhir hayatnya, beliau
tetap senang bertirakat, menolong sesama, bahkan beliau telah menyerahkan hidup
dan matinya hanya untuk Allah, untuk kepentingan umat karena Allah. Beliau
menjuluki dirinya dengan sebutan "Mandor Klungsu" dan "Jaka
Pring". Beliau tidak menikah, tidak punya murid dan wakil. Sang Alif
itulah sebuah tanda yang beliau semat dalam dada dan beliau refleksikan ke
dunia eksternal sebagai perantara untuk menolong sesama. Beliau adalah seorang
bangsawan, seorang sarjana, seorang pahlawan tanpa tanda jasa, seorang filsuf,
sorang yang kaya meski tak berharta, seorang paranormal yang cendekia, mandor klungsu,
Jaka Pring, ber-kanthong bolong
dan gurune pribadi-muride pribadi. Oleh
karena itu, Drs. R.M.P. Sosrokartono dapat dibanggakan sebagai Putra Indonesia
Sejati.
Drs. R.M.P. Sosrokartono wafat pada hari
Jumat Pahing tanggal 8 Februari 1952 di rumahnya, Jl. Pungkur No. 19 Bandung.
Beliau kembali ke rahmatillah pada usia
75 tahun. Saait itu, Presiden Soekarno memerintahkan AURI (Angkatan Udara
Republik Indonesia) untuk mengantarkan jenazah R.M.P. Sosrokartono dengan
pesawat terbang militer ke kota Semarang. Jenazah beliau kemudian dimakamkan di
pemakaman keluarga Sedhomukti di kota Kudus.
Sumber:
Syuropati, Muhammad A. 2011. Sugih Tanpa Bandha
vs Ilmu Kanthong Bolong. Bantul: IN AzNa Books.
0 komentar:
Posting Komentar